KETAHANAN PANGAN

Makan dan cukup makan adalah hak dasar setiap orang. Kelaparan mengenaskan bagi yang merasakannya, aib bagi masyarakat sekitarnya, dan jika massal serta terjadi di tengah kemakmuran maka merupakan cacat peradaban. Namun ironisnya sampai saat ini masih sangat banyak penduduk yang menderita kelaparan. September 2009 ini sekitar 14.98 persen penduduk dunia kekurangan pangan (undernourishment). Dalam persen, angka kematian akibat kelaparan memang hanya sekitar 0.7; namun itu berarti lebih dari 7.169.800 orang karena jumlah penduduk dunia adalah sekitar 6.792 milyar. Jadi, per hari rata-rata lebih dari 13.350 orang mati akibat kelaparan.

Perubahan iklim dan krisis finansial global yang kini terjadi mengakibatkan masa depan ketahanan pangan global menjadi lebih rawan. Terkait dengan itu setiap negara dituntut untuk memantapkan ketahanan pangannya. Indonesia sebagai Negara agraris dan pernah mencapai swasembada pangan, diharapkan dapat mencapi dan memantapkan ketahanan pangan bagi penduduknya.

Kejadian rawan pangan dan gizi buruk mempunyai makna politis yang negatif bagi penguasa, bahkan di beberapa negara berkembang krisis pangan dapat menjatuhkan pemerintah yang sedang berkuasa. Sejarah membuktikan bahwa ketahanan pangan sangat erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanaan atau ketahanan nasional. Dalam arti, jika dalam suatu negara terjadi kerawanan pangan maka kestabilan ekonomi, politik, dan sosial akan terguncang.

Pengertian Ketahanan Pangan

Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, mengartikan ketahanan pangan sebagai : kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Pengertian mengenai ketahanan pangan tersebut mencakup aspek makro, yaitu tersedianya pangan yang cukup; dan sekaligus aspek mikro, yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga untuk menjalani hidup yang sehat dan aktif.

Pada tingkat nasional, ketahanan pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman; dan didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya lokal.

Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, kemananan dan kehalalannya. Situasi ketahanan pangan di negara kita masih lemah. Hal ini ditunjukkan antara lain oleh: (a) jumlah penduduk rawan pangan (tingkat konsumsi < 90% dari rekomendasi 2.000 kkal/kap/hari) dan sangat rawan pangan (tingkat konsumsi <70 % dari rekomendasi) masih cukup besar, yaitu masing-masing 36,85 juta dan 15,48 juta jiwa untuk tahun 2002; (b) anak-anak balita kurang gizi masih cukup besar, yaitu 5,02 juta dan 5,12 juta jiwa untuk tahun 2002 dan 2003 (Ali Khomsan, 2003)

Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:

  1. kecukupan ketersediaan pangan;
  2. stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun.
  3. aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta
  4. kualitas/keamanan pangan

Menurut Bustanul Arifin (2005) ketahanan pangan merupakan tantangan yang mendapatkan prioritas untuk mencapai kesejahteraan bangsa pada abad milenium ini. Apabila melihat Penjelasan PP 68/2002 tersebut, upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada sumber daya pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah.

Sejak tahun 1798 ketika Thomas Malthus memberi peringatan bahwa jumlah manusia meningkat secara eksponensial, sedangkan usaha pertambahan persediaan pangan hanya dapat meningkat secara aritmatika. Dalam perjalanan sejarah dapat dicatat berbagai peristiwa kelaparan lokal yang kadang-kadang meluas menjadi kelaparan nasional yang sangat parah diberbagai Negara. Permasalahan diatas adalah cirri sebuah Negara yang belum mandiri dalam hal ketahanan pangan (Nasoetion, 2008)

Ketahanan pangan merupakan pilar bagi pembangunan sektor-sektor lainnya. Hal ini dipandang strategis karena tidak ada negara yang mampu membangun perekonomian tanpa menyelesaikan terlebih dahulu masalah pangannya. Di Indonesia, sektor pangan merupakan sektor penentu tingkat kesejahteraan karena sebagian besar penduduk yang bekerja on-farm untuk yang berada di daerah pedesaan dan untuk di daerah perkotaan, masih banyak juga penduduk yang menghabiskan pendapatannya untuk konsumsi. Memperhatikan hal tersebut, kemandirian pangan merupakan syarat mutlak bagi ketahanan nasional. Salah satu langkah strategis untuk untuk memelihara ketahanan nasional adalah melalui upaya mewujudkan kemandirian pangan. Secara konsepsional, kemandirian adalah suatu kondisi tidak terdapat ketergantungan pada siapapun dan tidak ada satu pihakpun yang dapat mendikte atau memerintah dalam hal yang berkaitan dengan pangan.

Kemandirian pangan tidak dapat diwujudkan tanpa adanya peranan dari pemerintah dan masyarakat. Petani yang merupakan ujung tombak dalam penyediaan pangan secara lokal, harus mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah. Jantung dari kemandirian pangan terletak pada kualitas dan produktivitas pertanian jadi pemerintah harus berpihak dan mendukung petani secara penuh. Selain itu, kebijakan harga juga dapat mendukung dalam pemantapan dan terwujudnya kemandirian pangan.

Kebijakan yang lebih tepat dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan adalah dengan mengubah image masyarakat untuk tidak menjadikan beras sebagai makanan pokok dan mulai beralih dari beras ke makanan lokal yang lain.

Pemberdayaan Petani dalam Rangka Pemantapan Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun. Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan : petani adalah produsen pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Disinilah perlu sekali peranan pemerintah dalam melakukan pemberdayaan petani.

Kesejahteraan petani pangan yang relatif rendah dan menurun saat ini akan sangat menentukan prospek ketahanan pangan nasional. Kesejahteraan tersebut ditentukan oleh berbagai faktor dan keterbatasan, diantaranya yang utama adalah :

a.   Sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali tenaga kerjanya (they are poor becouse they are poor) , dalam hal ini keterbatasan sumber daya manusia yang ada (rendahnya kualitas pendidikan yang dimiliki petani pada umumnya) menjadi masalah yang cukup rumit, disisi lain kemiskinan yang structural menjadikan akses petani terhadap pendidikan sangat minim.

b.   Luas lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi. Pada umumnya petani di Indonesia rata-rata hanya memiliki tanah kurang dari 1/3 hektar, jika dilihat dari sisi produksi tentu saja dengan luas tanah semacam ini tidak dapat di gunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari bagi petani.

c.   Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan , ketersediaan modal perlu mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah pada umumnya permasalahan yang paling mendasar yang dialami oleh petani adalah keterbatasan modal baik balam penyediaan pupuk atau benih.

d.   Tidak adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik. Petani di Indonesia kebanyakan masih mengolah tanah dengan cara tradisional hanya sebagian kecil saja yang sudah menggunakan teknologi canggih. Tentu saja dari hasil produksinya sangat terbatas dan tidak bisa maksimal.

e.   Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai. Pertanian di Indonesia mayoritas masih berada di wilayah pedesaan sehingga akses untuk mendapatkan sarana dan prasarana penunjang seperti air, listrik , kondisi jalan yang bagus dan telekomunikasi sangat terbatas.

f.    Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi tawar petani (bargaining position) yang sangat lemah .

g.   Ketidakmampuan, kelemahan, atau ketidaktahuan petani sendiri.

Tanpa penyelesaian yang mendasar dan komprehensif dalam berbagai aspek diatas kesejahteraan petani akan terancam dan ketahanan pangan akan sangat sulit dicapai. Maka disinilah peranan pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah harus dijadikan sebagai perhatian utama demi terwujudnya ketahanan pangan karena ketahanan pangan dapat terwujud dengan baik jika pengelolaanya dikelola mulai dari tataran mikro (mulai dari rumah tangga), jika akses masyarakat dalam mendapatkan kebutuhan pangan sudah baik maka ketahanan pangan di tataran makro sudah pasti secara otomatis akan dapat terwujud.

Dapat kita lihat sampai sekarang ini program pemerintah dalam kaitanya dengan pembangunan ketahanan pangan masih belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat pada umumnya, pembangunan ketahanan pangan yang ada masih bersifat pada tataran makro saja pemenuhan pangan pada tingkatan unit masyarakat terkecil masih terkesan terabaikan. Untuk mengatasi hal itu semua ada berbagai upaya pemberdayaan untuk peningkatan kemandirian masyarakat khususnya pemberdayaan petani dapat dilakukan melalui :

Pertama, pemberdayaan dalam pengembangan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Hal ini dapat dilaksanakan melalui kerjasama dengan penyuluh dan peneliti. Teknologi yang dikembangkan harus berdasarkan spesifik lokasi yang mempunyai keunggulan dalam kesesuaian dengan ekosistem setempat dan memanfaatkan input yang tersedia di lokasi serta memperhatikan keseimbangan lingkungan.

Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan teknologi ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil kegiatan penelitian yang telah dilakukan para peneliti.  Teknologi tersebut tentu yang benar-benar bisa dikerjakan petani di lapangan, sedangkan penguasaan teknologinya dapat dilakukan melalui penyuluhan dan penelitian. Dengan cara tersebut diharapkan akan berkontribusi langsung terhadap peningkatan usahatani dan kesejahteraan petani.

Kedua, penyediaan fasilitas kepada masyarakat hendaknya tidak terbatas pengadaan sarana produksi, tetapi dengan sarana pengembangan agribisnis lain yang diperlukan seperti informasi pasar, peningkatan akses terhadap pasar, permodalan serta pengembangan kerjasama kemitraan dengan lembaga usaha lain.

Dengan tersedianya berbagai fasilitas yang dibutuhkan petani tersebut diharapkan selain para petani dapat berusaha tani dengan baik juga ada kepastian pemasaran hasil dengan harga yang menguntungkan, sehingga selain ada peningkatan kesejahteraan petani juga timbul kegairahan dalam mengembangkan usahatani.

Ketiga, Revitalisasi kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat. Hal ini bisa dilakukan melalui pengembangan lumbung pangan. Pemanfaatan potensi bahan pangan lokal dan peningkatan spesifik berdasarkan budaya lokal sesuai dengan perkembangan selera masyarakat yang dinamis.

Revitalisasi kelembagaan dan sistem ketahanan pangan masyarakat yang sangat urgen dilakukan sekarang adalah pengembnagan lumbung pangan, agar mampu memberikan kontribusi yang lebih signifikan terhadap upaya mewujudkan ketahanan pangan. Untuk itu diperlukan upaya pembenahan lumbung pangan yangb tidak hanya dakam arti fisik lumbung, tetapi juga pengelolaannya agar mampu menjadi lembaga penggerak perekonomian di pedesaan.

Pemberdayaan petani untuk mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani seperti diuraikan diatas, hanya dapat dilakukan dengan mensinergikan semua unsur terkait dengan pembangunan pertanian. Untuk koordinasi antara instansi pemerintah dan masyarakat intensinya perlu ditingkatkan.

Diversifikasi dan Ketahanan Pangan

Bagi Indonesia, sumber kerawanan ketahanan pangan terkait dengan faktor-faktor berikut. Pertama, jumlah penduduk miskin masih cukup banyak dan karena itu aksesnya terhadap pangan rendah. Kedua, produksi pangan belum cukup untuk membentuk cadangan pangan yang memenuhi persyaratan status ketahahan pangan yang mantap. Ketiga, konsumsi pangan pokok sangat terfokus pada beras, diversifikasi ke arah pangan lokal kurang berkembang, dan perbaikan pola konsumsi ke arah pola pangan harapan berlangsung lambat. Pengembangan diversifikasi pangan ke arah bahan pangan lokal merupakan salah satu cara yang dipandang efektif untuk mengatasi sejumlah kerawanan tersebut sekaligus untuk mendukung terwujudnya ketahanan pangan yang mantap.

Berkembangnya spektrum konsumsi pangan dapat mengurangi konsumsi beras per kapita dan potensial pula untuk mendukung perkembangan ke arah pola pangan harapan. Pada sisi produksi, pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal kondusif untuk mendukung pengembangan sistem usahatani yang selaras dengan prinsip adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Melalui sub sistem usahatani dan agroindustri pangan, pengembangan diversifikasi pangan ke arah bahan pangan lokal dapat berkontribusi besar dalam peningkatan dan pemerataan pendapatan, dan perluasan kesempatan kerja karena melibatkan sebagian besar industri rumah tangga, skala kecil, dan menengah. Dengan diversifikasi pangan, stabilitas system ketahanan pangan menjadi lebih baik dan untuk kasus seperti di Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai salah satu pilar pemantapan ketahanan pangan.

Strategi kebijakan dan program akselerasi pengembangan diversifikasi pangan bertumpu pada prinsip bahwa produksi-agroindustri-konsumsi adalah satu sistem utuh yang antar komponennya sinergis. Berpijak dari pengalaman empiris selama ini, kunci sukses pengembangan diversifikasi pangan terletak pada komitmen politik serta konsistensi dan ketuntasan dalam kebijakan dan program.

Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan

Sejalan dengan otonomi daerah yang diatur dalam UU No.22 tahun1999 dan PP No.25 tahun 2000, maka pelaksanaan manajemen pembangunan ketahanan pangan di pusat dan daerah diletakkan sesuai dengan peta kewenangan pemerintah. Dalam PP No. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan dalam Bab VI pasal 13 ayat 1 tertulis dengan jelas bahwa “Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan atau Pemerintah Desa melaksanakan kebijakan dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan ketahanan pangan di wilayahnya masing-masing dengan memperhatikan pedoman, norma, standar dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat”. Untuk menguatkan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah, terdapat kesepakatan bersama Gubernur/ketua DKP (Dinas Ketahanan Pangan) Provinsi yang mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai program dan kegiatan ketahanan pangan yang komprehensif serta berkesinambungan dalam rangka memantapkan ketahanan pangan nasional. Program dan kegiatan tersebut menjadi prioritas program pembangunan daerah.

Berkaitan dengan penurunan proporsi rumah tangga rawan pangan dan penurunan prevelensi gizi buruk yang sekaligus sebagai upaya peningkatan ketahanan pangan dan kualitas sumber daya manusia, peranan pemerintah daerah adalah penting. Mengingat proporsi rumah tangga rawan pangan dan gizi buruk serta potensi di setiap daerah aadalah berbeda maka dalam era desentralisasi ini upaya penanggulangan kerawanan pangan harus dimulai dari daerah, yang berarti terwujudnya ketahanan pangan nasional harus dimulai dari daerah, yang berarti terwujudnya ketahanan  pangan nasional harus dimulai dengan penguatan ketahanan pangan daerah. Namun demikian, perwujudan ketahanan pangan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah namun juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dalam perwujudan ketahanan pangan dan penanggulangan kerawanan pangan sangat diharapkan.

Pemantapan ketahanan pangan dapat dilakukan dengan upaya-upaya, antara lain sebagai berikut:

  1. peningkatan ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dengan mengembangkan komoditas pangan lokal  sesuai potensi sumberdaya dan pola konsumsi setempat
  2. peningkatan produktivitas pertanian melalui akselerasi pemanfaatan teknologi sesuai dengan kapasitas sumberdaya manusia setempat
  3. pembinaan dan pendampingan secara intensif dan berkelanjutan pada program-program pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia
  4. menguatkan jejaring kerja dan komitmen seluruh pemangku kepentingan terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan ketahanan pangan rumah tangga.
  5. Dalam jangka panjang, upaya pemantapan ketahanan pangan dan penanganan rawan pangan di tingkat rumah tangga dapat dilakukan melalui :
  • menjaga stabilitas harga pangan
  • perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan
  • pemberdayaan masyarakat miskin dan rawan pangan
  • peningkatan efektivitas program raskin
  • penguatan lembaga pengelola pangan di pedesaan

Pengamanan Ketahanan Pangan di Negara Lain

Cina yang berpenduduk lebih dari 1 miliar mengamankan ketahanan pangan negerinya dengan berinvestasi di sepanjang Afrika Timur dengan pantai lebih dari 2000 km. Cina sangat cerdas membaca situasi perubahan iklim dan kekurangan lahan dengan ekspansi ke luar negeri. Negara-negara di kawasan Teluk dan Afrika Utara sudah mulai mengikuti jejak Cina dalam mengamankan ketahanan pangan mereka. Libya sudah mulai melakukan investasi ketahanan pangan di luar negeri, terutama gandum, kendati harga gandum dunia cenderung turun. Staf Ahli Kementerian Pertanian Libya, Ahmed Urhumah menegaskan bahwa Libya menginvestasikan ketahanan pangan negara tersebut, terutama di negara Arab dan Eropa Timur. Untuk itu Libya telah melakukan investasi di sebagian negara Afrika, diantaranya menyewa lahan pertanian seluas 100.000 ha di Mali dan juga menjajaki kesepakatan yang sama di Sudan, dan tahun telah melakukan investasi di Ukrania dengan menyewa lahan seluas 100.000 ha.

Arab Saudi dan UAE juga sudah melakukan pengamanan pangan dan mengurangi ekonomi berbasis impor. Menteri Pertanian Arab Saudi, Fahd Abd.Rahman mengatakan bahwa sebagian sektor swasta Arab Saudi yang bergerak di bidang pertanian telah menginvestasikan di Sudan dan Aljazair. Selain itu juga sudah melakukan rencana strategis untuk mengamankan ketahanan pangannya di negara-negara subur di luar Arab Saudi seperti Ukrania, Ethiopia, Pakistan, dan Thailand. Arab juga membangun beberapa proyek raksasa yang masing-masing luasnya lebih dari 100.000 faddan (ha) yang nantinya hasilnya akan dipasok ke Arab Saudi.

Upaya yang dilakukan Pemerintah

Pemerintah menyiapkan benih jagung (breeder seed) untuk konsumsi sebanyak 1 ton sebagai langkah konkret ketahanan pangan nasional. Wakil Menteri Pertanian, Bayu Krisnamurthi menjelaskan bahwa penyebaran bibit jagung bernama Srikandi Putih sudah mulai dilakukan di Jawa Tengah sebanyak 250 kg dan 750 kg yang lain akan disebar di Jawa Timur dan provinsi lain yang dimungkinkan mengkonsumsi makanan pokok selain beras. Penanaman jagung ini dilakukan dalam rangka mengganti makanan pokok beras menjadi jagung sehingga beras dapat dikurangi konsumsinya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan diperlukan sinergi dan integrasi sistem terkait antara ketahanan pangan di Indonesia dan peningkatan jumlah penduduk setelah dilakukan sensus penduduk 2010. Penduduk Indonesia saat ini 230 juta orang, dan diperkirakan meningkat sekitar 235 juta hingga 240 juta.

Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan pemberdayaan masyarakat melalui program Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan di Lahan Kering, Pengembangan Desa Mandiri Pangan, Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP), Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (Penguatan-LDPM), Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Gizi (P2KPG), Penanganan Daerah Rawan Pangan (PDRP), dan Pengembangan Lumbung Pangan. Untuk program Pengembangan Desa Mandiri Pangan telah dimulai dari tahun 2006 dengan jumlah desa sebanyak 250, tahun 2007 sebanyak 354, tahun 2008 sejumlah 221 desa,  dan 349 desa untuk tahun 2009 . jumlah total sampai awal tahun 2010 adalah 1174 desa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Desa Mandiri Pangan ini bertujuan untuk memberikan bantuan modal lunak kepada rumah tangga miskin agar dapat mengembangkan usaha yang bisa menghasilkan uang sehingga kebutuhan makanan dapat tercukupi. Dengan tercukupinya kebutuhan makanan, ketahanan pangan daerah tersebut menjadi meningkat.

Masalah dan Tantangan Ketahanan Pangan ke Depan

Secara khusus tantangan pembangunan ketahanan pangan Indonesia ke depan antara lain: mengembangkan budidaya komoditas di on-farm yang sesuai dengan persyaratan agroindustri skala besar, memperbaiki infrastruktur transportasi hingga ke sentra produksi, mengembangkan agroindustri skala kecil di pedesaan yang terintegrasi dalam pengembangan berskala kawasan, kerja sama antar kawasan untuk menumbuhkan agregat permintaan pasar dalam skala wilayah, dan mengembangkan agroindustri yang berlokasi di pusat-pusat pertumbuhan baru.

Dalam cadangan pangan, sifat komoditas pangan bersifat musiman, sementara pendapatan masyarakat masih sangat rendah, sehingga menuntut perlunya cadangan pangan. Di samping itu, adanya kondisi iklim yang tidak menentu, menyebabkan sering terjadi pergeseran penanaman, masa pemanenan yang tidak merata sepanjang tahun, timbulnya bencana yang tidak terduga seperti banjir, longsor, kekeringan, dan gempa, memerlukan sistem percadangan pangan yang baik. Sampai saat ini, cadangan pemerintah dan masyarakat belum berkembang dengan baik di daerah.

Potensi pengembangan cadangan pangan di daerah cukup tinggi, seperti: pengembangan sistem pencadangan pangan untuk mengantisipasi kondisi darurat bencana alam minimal 3 bulan, pengembangan cadangan pangan hidup pada pekarangan, lahan desa, lahan tidur, dan tanaman bawah tegakan perkebunan, pengembangan untuk menguatkan kelembagaan lumbung pangan desa, dan pengembangan sistem cadangan pangan melalui Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan atau lembaga usaha lainnya.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan ini adalah :

  1. Ketahanan pangan  sangat erat kaitannya dengan  ketahanan nasional, stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan keamanan atau ketahanan nasional.
  2. Komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan adalah kecukupan ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun, aksesibilitas atau keterjangkauan terhadap pangan serta kualitas atau keamanan pangan.
  3. Di Indonesia sector pangan merupakan penentu tingkat kesejahteraan karena sebagian besar penduduk masih bekerja di onfarm dan sebagian penduduk masih menghabiskan pendapatannya untuk konsumsi.
  4. Petani memegang peranan yang sangat strategis dalam ketahanan pangan.
  5. Pemantapan ketahanan pangan dilakukan dengan peningkatan ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dengan mengembangkan komoditas lokal, peningkatan produktivitas pertanian melalui akselerasi pemanfaatan teknologi sesuai dengan kapasitas SDM setempat, pembinaan dan pendampingan secara intensif dan berkelanjutan pada program pemberdayaan masyarakat, menguatkan jejaring kerja dan komikomitmen seluruh pemangku kepentingan terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan ketahanan pangan rumah tangga.
  6. Upaya pemantapan ketahanan pangan dan penanganan rawan pangan di tingkat rumah tangga dapat dilakukan dengan menjaga stabilitas harga pangan, perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan, pemberdayaan masyarakat miskin dan rawan pangan, dan peningkatan efektivitas program raskin.

Saran

  1. Ketahanan pangan di Indonesia harus ditingkatkan dan dimantapkan karena pangan merupakan salah satu pengukur tingkat kesejahteraan bagi Indonesia.
  2. Pangan lokal merupakan salah satu solusi yang dapat dikembangkan sebagai pengganti beras yang merupakan kebutuhan pokok.
  3. Petani sebagai jantung dari ketahanan pangan harus mendapat fasilitas dan dukungan dari pemerintah sehingga dapat menghasilkan produk yang kualitas dan kuantitasnya selalu mengalami peningkatan.
  4. Ketahanan pangan hanya dapat diwujudkan oleh kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah beserta masyarakat.
  5. Ketahanan pangan dimulai dari tingkat rumah tangga sehingga upaya juga harus dilakukan dari tingkat rumah tangga.
This entry was posted on November 11, 2011. 2 Comments

EKONOMI RAKYAT DAN GLOBALISASI

  1. EKONOMI RAKYAT DI INDONESIA

A. Ekonomi Rakyat

Ekonomi rakyat beberapa waktu terakhir menjadi istilah baru yang banyak didiskusikan dalam berbagai forum dan oleh banyak pihak. Bukan tanpa alasan ekonomi rakyat seolah-olah menjadi trendsetter baru dalam wacana pembangunan. “Ambruknya” ekonomi Indonesia yang selama lebih dari tiga dasawarsa selalu dibanggakan oleh pemerintah, memaksa berbagai pihak meneliti kembali struktur perekonomian Indonesia. Berbagai kajian yang dilakukan berhasil menemukan satu faktor kunci yang menyebabkan keambrukan ekonomi Indonesia yaitu ketergantungan ekonomi Indonesia pada sekelompok kecil usaha dan konglomerat yang ternyata tidak memiliki struktur internal yang sehat. Ketergantungan tersebut merupakan konsekuensi logis dari kebijakan ekonomi neoliberal yang mengedepankan pertumbuhan dengan asumsi apabila pertumbuhan tinggi dengan sendirinya akan membuka banyak lapangan kerja, dan karena banyak lapangan kerja maka kemiskinan akan berkurang. Kebijakan ekonomi tersebut ternyata menghasilkan struktur ekonomi yang tidak seimbang.

Kegiatan-kegiatan yang digeluti pelaku ekonomi rakyat secara kasar dapat dikelompokkan menjadi:

a)   Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder – pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan (semua dilaksanakan dalam skala terbatas dan subsisten), pengrajin kecil, penjahit, produsen makanan kecil, dan semacamnya.

b)   Kegiatan-kegiatan tersier – transportasi (dalam berbagai bentuk), kegiatan sewa menyewa baik perumahan, tanah, maupun alat produksi.

c)   Kegiatan-kegiatan distribusi – pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang kaki lima, penyalur dan agen, serta usaha sejenisnya.

d)   Kegiatan-kegiatan jasa lain – pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur, montir, tukang sampah, juru potret jalanan, dan sebagainya

Kegiatan primer seperti pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan selama beberapa dasawarsa terakhir mendapatkan tekanan struktural dari pemerintah sebagai akibat kebijakan yang menekankan pada pertumbuhan industri dan menuntut upah buruh yang rendah. Upah buruh rendah hanya dapat tercapai apabila salah satu komponen utamanya yaitu makan juga rendah. Sebagai akibatnya kegiatan primer ditekan untuk menyediakan pangan murah yang diperlukan bagi pertumbuhan industri. Orientasi pada industri juga menyebabkan berbagai kegiatan di masyarakat seperti pengrajin, penjahit, produsen makanan dan semacamnya karena skalanya yang terbatas tidak mendapatkan perhatian bahkan tidak dilihat sebagai aktifitas ekonomi yang perlu dipertimbangkan.

Ekonomi rakyat adalah “kegiatan ekonomi rakyat banyak” (Krisnamurthi, 2001). Jika dikaitkan dengan kegiatan pertanian, maka yang dimaksud dengan kegiatan ekonomi rakyat adalah kegiatan ekonomi petani atau peternak atau nelayan kecil, petani gurem, petani tanpa tanah, nelayan tanpa perahu, dan sejenisnya; dan bukan perkebunan atau peternak besar atau MNC pertanian, dan sejenisnya. Jika dikaitkan dengan kegiatan perdagangan, industri, dan jasa maka yang dimaksud adalah industri kecil, industri rumah tangga, pedagang kecil, eceran kecil, sektor informal kota, lembaga keuangan mikro, dan sejenisnya; dan bukan industri besar, perbankan formal, konglomerat, dan sebagainya. Pendeknya, dipahami bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi rakyat (banyak)” adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orang banyak dengan skala kecil-kecil, dan bukan kegiatan ekonomi yang dikuasasi oleh beberapa orang dengan perusahaan dan skala besar, walaupun yang disebut terakhir pada hakekatnya adalah juga ‘rakyat’ Indonesia.

Perspektif lain dari ekonomi rakyat dapat pula dilihat dengan menggunakan perspektif jargon: “ekonomi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Krisnamurthi, 2000). “Dari rakyat”, berarti kegiatan ekonomi itu berkaitan dengan penguasaan rakyat dan aksesibilitas rakyat terhadap sumberdaya ekonomi. Rakyat menguasai dan memiliki hak atas sumberdaya untuuk mendukung kegiatan produktif dan konsumtifnya. Dalam hal ini, sumberdaya ekonomi yang dimaksud adalah segala sumberdaya yang dapat digunakan untuk menjalankan penghidupan, baik sumberdaya alam, modal, tenaga kerja (termasuk tenaga kerjanya sendiri), ketrampilan, pengetahuan, juga sumberdaya sosial (kelompok, masyarakat) sumberdaya jaringan (‘network’), informasi, dan sebagainya.

“Oleh rakyat”, berarti proses produksi dan konsumsi dilakukan dan diputuskan oleh rakyat. Rakyat memiliki hak atas pengelolaan proses produktif dan konsumtif tersebut. Berkaitan dengan sumberdaya (produktif dan konsumtif), rakyat memiliki alternatif untuk memilih dan menentukan sistem pemanfaatan, seperti berapa banyak jumlah yang harus dimanfaatkan, siapa yang memanfaatkan, bagaimana proses pemanfaatannya, bagaimana menjaga kelestarian bagi proses pemanfaatan berikutnya, dan sebagainya.

“Untuk rakyat”, berarti rakyat banyak merupakan ‘beneficiaries utama dari setiap kegiatan produksi dan konsumsi. Rakyat menerima manfaat, dan indikator kemantaatan paling utama adalah kepentingan rakyat.

B. Ekonomi di Indonesia dan Ekonomi Rakyat

Sistem ekonomi yang dipakai Indonesia sekarang adalah sistem ekonomi campuran, yang artinya suatu sistem organisasi ekonomi yang ditandai dengan keikutsertaan pemerintah dalam hal penentuan cara-cara mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain pemerintah ikut secara langsung dalam kegiatan ekonomi. Pemerintah juga menetapkan berbagai peraturan dan undang-undang agar mekanisme pasar dapat berfungsi dengan lebih sempurna, dan persaingan kurang sehat dapat diatasi. Tetapi sistem ekonomi ini malah membuat Indonesia tidak bisa memfokuskan perekonomian rakyat. Ketidakmerataan pemilikan faktor-faktor strategis, khususnya sumberdaya alam sebagai tantangan bersama, akan tetapi yang menjadi perhatian adalah apabila ketidakmerataan tersebut merupakan salah satu kelemahan yang diakibatkan oleh sistem pembangunan ekonomi yang terpusat yang dianut di masa lalu.

Pasal 33 ayat 1 ( Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) mengandung makna bahwa perekonomian yang paling sesuai untuk bangsa Indonesia adalah ekonomi kerakyatan. Dalam asas kekeluargaan terkandung pengertian demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang.

Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Pemihakan dan perlindungan ditujukan pada ekonomi rakyat yang sejak zaman penjajahan sampai 57 tahun Indonesia merdeka selalu terpinggirkan. Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.

Moral Pembangunan yang mendasari paradigma pembangunan yang berkeadilan sosial mencakup:

a)        peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat baik laki-laki maupun perempuan dengan otonomi daerah yang penuh dan bertanggung jawab;

b)        penyegaran nasionalisme ekonomi melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan ekonomi;

c)        pendekatan pembangunan berkelanjutan yang multidisipliner dan multikultural.

d)        pencegahan kecenderungan disintegrasi sosial;

e)        penghormatan hak-hak asasi manusia (HAM) dan masyarakat;

f)            pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.

Srategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan di bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.

Berdasarkan pengertian dan landasan hukum yang digunakan oleh negara Indonesia, perekonomian yang paling sesuai adalah ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat sangat mengutamakan kepentingan rakyat yang berarti juga mendukung terlaksananya sila keempat Pancasila.

 

  1. GLOBALISASI

A. Pengertian Globalisasi

Globalisasi mempunyai dua pengertian pertama, sebagai deskripsi/definisi yaitu proses menyatunya pasar dunia menjadi satu pasar tunggal (borderless market), dan kedua, sebagai “obat kuat” (prescription) menjadikan ekonomi lebih efisien dan lebih sehat menuju kemajuan masyarakat dunia. Dengan dua pengertian ini jelas bahwa menurut para pendukung globalisasi “tidak ada pilihan” bagi setiap negara untuk mengikutinya jika tidak mau ditinggalkan atau terisolasi dari perekonomian dunia yang mengalami kemajuan sangat pesat (Mubyarto, 2003).

Perdagangan bebas sangat berbeda bila dibandingkan dengan perdagangan internasional. Perdagangan internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Secara teori, semua hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian perdagangan yang didukung oleh penganut perdagangan bebas ini justru sebenarnya menciptakan hambatan baru kepada terciptanya pasar bebas. Perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar.

B. Dampak Globalisasi

Globalisasi membawa dampak yang sangat berpengaruh bagi perekonomian di Indonesia. Dampak negatif dari globalisasi adalah :

a)     Aliran produk asing ke dalam negeri dapat merusak sektor ekonomi dan produk yang dihasilkan oleh produsen dalam negeri.

b)     Produsen akan beralih profesi menjadi importir atau hanya penyalur melihat harga produk asing yang masuk ke dalam negeri. Hal ini akan mengakibatkan bergantungnya Indonesia pada produk asing.

c)     Karakter perekonomian yang semakin lemah dan bergantung pada negara lain.

d)     Produk Indonesia yang berdaya saing rendah di pasar Internasional karena tidak mendapat dukungan di pasar domestik.

e)     Peranan produksi nasional terutama produsen kecil akan terpangkas dan tergantikan oleh impor.

Dampak positif dari globalisasi adalah

a)     Peluang untuk menarik investasi ke Indonesia menjadi semakin terbuka.

b)    Peningkatan volume perdagangan.

 

  1. PERAN EKONOMI RAKYAT DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI

A. Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi Globalisasi

Perdagangan bebas merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dihindari oleh semua negara yang ada di dunia ini termasuk Indonesia.  Menurut Pardede 2009 bahwa di Indonesia hanya terdapat 7 % generasi muda yang memiliki mental menjadi pengusaha. Selebihnya lebih suka menjadi budak, hal ini disebabkan kurikulum pendidikan yang telah menjiwai masyarakat sejak duduk di bangku sekolah sampai kuliah. Pada akhirnya pengenalan dunia usaha dan kebijakan dari iklim usaha tidak tertanam sejak dini.

Pemerintahan hanya mampu menggerakkan roda ekonomi sekitar 15% saja, selebihnya para pengusaha hitam pelaku economic animal yang menguasai perindustrian & ekonomi negeri ini. Estafet kewirausahaan tidak ada, maka perdagangan bebas akan dengan cepat menaklukkan Indonesia di bawah penjajahan negara lain nantinya, sebagaimana VOC pada dahulu kala mengembara ke negeri  untuk berdagang  berubah menjadi penjajah.

Selain itu, apabila kita menilik kinerja sektor industri, pertanian, dan UMKM Indonesia lima tahun terakhir, era perdagangan bebas ASEAN-China jujur saja justru serba mengkhawatirkan bagi posisi dan kepentingan Indonesia. Sektor industri misalnya, bukannya berkembang menuju industri dewasa dan kuat (mature industry), namun malah mengalami deindustrialisasi. Tak sedikit industri dalam negeri, seperti tekstil dan alas kaki, gulung tikar karena tak mampu bersaing. Walhasil, sumbangan industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mestinya terus meningkat sebagai ciri negara yang industrinya makin maju, justru semakin menurun dan digantikan komoditas primer atau bahan mentah.

Sejalan dengan itu, banyak asosiasi industri kita, seperti baja, plastik, tekstil, menyuarakan ketidaksanggupannya bersaing dalam era pasar bebas ASEAN-China dalam waktu dekat. Ini mengingat beban biaya produksi yang berat di Indonesia. Kenaikan harga BBM dan listrik sebagai salah satu komponen pokok produksi menjadi salah satu sebabnya. Di samping masih merajalelanya praktek KKN yang berakibat ekonomi biaya tinggi (high-cost economy), tingginya suku bunga kredit perbankan (cost of money), dan lemahnya keterkaitan industri hulu dan hilir.

Kondisi sektor pertanian lebih memprihatinkan. Sebelum pasar bebas ASEAN-China berlaku, produk buah-buahan China dan Thailand sudah sejak lama membanjiri pasar Indonesia. Bahkan tidak hanya dijajakan di supermarket terkemuka, melainkan sudah dijual di kaki lima atau diasongkan di atas kereta ekonomi. Dengan kata lain, sebelum kawasan perdagangan bebas ASEAN-China dimulai, sektor pertanian Indonesia sudah dikalahkan di kandangnya sendiri. Maka bisa dibayangkan, bagaimana nasib produk pertanian kita tatkala tarif nol persen diberlakukan dalam era perdagangan bebas. Bisa dipastikan banjir produk pertanian asal China dan negara-negara ASEAN lainnya ke Indonesia akan semakin menjadi-jadi (Bima, 2010).

Kondisi perekonomian Indonesia tersebut dapat dikatakan belum siap untuk menghadapi globalisasi namun apapun keadaan perekonomian kita, globalisasi tetap harus dihadapi. Jadi yang dapat dilakukan adalah memperbaiki keadaan perekonomian sehingga kita dapat bertahan.

B. Peranan Ekonomi Rakyat dalam Menghadapi Globalisasi

Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa sistem perekonomian yang tepat untuk diterapkan di Indonesia adalah ekonomi kerakyatan. Dalam asas kekeluargaan terkandung pengertian demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Demikian “serangan” globalisasi tidak perlu kita takuti selama kita setia menggunakan Pancasila sebagai ideologi pegangan kehidupan bangsa. Sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi moralistik, manusiawi, nasionalistik, dan kerakyatan, yang akan mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Krisis moneter 1997-98 jelas lebih dulu dan lebih mudah memukul telak sektor ekonomi modern/ formal lebih-lebih perusahaan yang berutang besar dalam nilai nominal dolar, yen, atau valuta asing lainnya. Krisis moneter yang dimulai dengan depresiasi rupiah dan apresiasi dolar sangat memukul perusahaan-perusahaan yang berutang dolar atau valuta asing lain dan memukul impor karena harga rupiah barang-barang impor melonjak sesuai apresiasi dolar. Namun karena hampir semua sektor masih bersifat dualistik, sektor tradisional/ekonomi rakyat tidak terpengaruh krismon, atau terpengaruh secara tidak berarti. Dampak negatif krismon terhadap ekonomi rakyat dapat dihindari atau disikapi sedemikian rupa hingga tidak dirasakan dampaknya, dengan cara-cara atau ”seni” khas ekonomi rakyat, yang dikenal dengan istilah strategi penyikapan (coping strategy) baik dalam produksi, perilaku berkonsumsi, atau sekedar strategi bertahan hidup (survival strategy). Keberhasilan ekonomi rakyat dalam menghadapi krisis moneter tersebut diharapkan mampu menghadapi globalisasi dan dampaknya terhadap perekonomian di Indonesia.

Ekonomi rakyat dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang relatif banyak karena biasanya ekonomi rakyat berawal dari usaha rumah tangga skala kecil. Penyerapan tenga kerja ini akan mengurangi tingkat pengangguran Indonesia yang jumlahnya sudah relatif besar (data ada di tabel berikut). Selain itu dengan semakin berkembangnya ekonomi rakyat di Indonesia, sektor industri diharapkan juga semakin berkembang melalui pertumbuhan kuantitas dan kualitas ekonomi rakyat tersebut.

 

No

Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

2004

2005 (feb)

2005 (nov)

2006 (feb)

2006 (agts)

2007

 (feb)

2007 (agts)

2008

(feb)

2008 (agts)

2009 (feb)

1

Tidak/Belum Pernah Sekolah/Belum Tamat SD

1004296

1012711

937985

349425

781920

666066

532820

528195

547038

2620049

2

Sekolah Dasar

2275281

2540977

2729915

2675459

2589699

2753548

2179792

22166619

2099968

2054682

3

SLTP

2690912

2680810

3151231

2860007

2730045

2643062

2264198

2166619

1973986

2133627

4

SMTA

3695504

3911502

5106915

4047016

4156708

3745035

4070553

3369959

3812522

1337586

5

Diploma I/II/III/Akademi

237251

322836

308522

297185

278074

330316

397191

519867

362683

486399

6

Universitas

348107

385418

395538

375601

395554

409890

566588

626202

598318

486399

Total

10251351

10854254

12630106

11104693

10932000

10547917

10011142

9427590

9394515

9258964

 

Ekonomi rakyat yang identik dengan rakyat dan usaha kecil, akan dapat berkembang dengan baik jika ada peran dan bantuan dari pemerintah. Peran pemerintah dapat diwujudkan dengan bantuan yang berupa modal, pelatihan, fasilitasi maupun pemasaran dan jaminan dalam pemasaran produk. Jika usaha ini dapat berkembang, rakyat sebagai pelaku usaha dapat saling mencukupi kebutuhan dengan berbagi jenis usaha (kelompok A menghasilkan produk yang berbeda dengan kelompok yang lain, sehingga dapat saling melengkapi). Dengan terpenuhinya kebutuhan tersebut diharapkan banjiran produk dari luar negeri tidak mendapatkan kesempatan untuk dikonsumsi oleh rakyat sehingga produksi dalam negeri tetap bertahan dan tidak mengalami kebangkrutan.

Berkembangnya ekonomi rakyat juga akan menjadikan masyarakat memiliki daya juang dan jiwa pengusaha yang semakin meningkat. Adanya jiwa pengusaha yang terus berkembang dan usaha skala kecil yang mengalami perkembangan baik dalam segi kualitas maupun kuantitas, perekonomian akan semakin membaik dan siap untuk menghadapi globalisasi.

Selain alasan di atas, perkembangan ekonomi rakyat, akan meningkatkan tingkat kesejahteraan rakyat dan bisa mengurangi tingkat kemiskinan yang jumlahnya masih tinggi (dapat dilihat di gambar berikut ini). Tahun 2001, jumlah penduduk miskin berkurang bila dibandingkan tahun 2000, ini disebabkan oleh berkembangnya usaha di tingkat kecil. Usaha tingkat kecil atau industri kecil berkembang karena pada saat krismon 1998, usaha skala besar banyak yang terkena dampak dan mengalami kebangkrutan sehingga setelah krismon banyak yang beralih ke industri skala kecil yang cenderung ke ekonomi rakyat.

 

4. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil adalah :

  1. Globalisasi merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dihindari dan harus dihadapi dengan persiapan yang matang.
  2. Keadaan yang memaksa kita untuk siap dalam menghadapi globalisasi bukan berarti kita harus pasrah dan tidak berusaha untuk melakukan persiapan apapun.
  3. Globalisasi bukan momok tetapi merupakan kekuatan serakah dari sistem kapitalisme-liberalisme yang harus dilawan dengan kekuatan ekonomi-politik nasional yang didasarkan pada ekonomi rakyat. Semasa krismon kekuatan ekonomi rakyat telah terbukti mampu bertahan. Ekonomi rakyat benar-benar tahan banting.
  4. Ekonomi rakyat merupakan bentuk ekonomi yang paling sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 33 ayat 1).
  5. Ekonomi rakyat terbukti mampu bertahan pada saat krisis moneter dan mampu menyerap banyak tenaga kerja serta mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.

B. SARAN

  1. Untuk menghadapi globalisasi, salah satu persiapan yang dapat dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat dikembangkan karena sesuai dengan Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945.
  2. Usaha skala kecil ditingkatkan dengan tujuan untuk memacu daya saing produk lokal sehingga produk lokal menjadi berkualitas dan mampu bersaing dengan produk yang membanjir dari luar negeri.
  3. Pemerintah tetap konsisten dengan menggunakan bahan baku yang berasal dari dalam negeri.
  4. Peningkatan produktivitas dan keahlian masyarakat sehingga mampu meningkatkan pendapatan masyarakat yang akan berdampak pada berkurangnya tingkat kemiskinan masyarakat.

Kenaikan Tarif Dasar Listrik

Listrik sudah menjadi kebutuhan pokok bagi setiap manusia, hampir semua peralatan rumah tangga, kantor, dan perusahaan menggunakan listrik. Semakin bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, kebutuhan listriknya juga makin bertambah. Secara tidak langsung, tarif listrik sangat menentukan harga dan sektor perekonomian di Indonesia.

Tarif dasar listrik atau biasa disingkat TDL, adalah tarif yang boleh dikenakan oleh pemerintah untuk para pelanggan PLN. PLN adalah satu-satunya perusahaan yang boleh menjual listrik secara langsung kepada masyarakat indonesia, maka TDL bisa dibilang adalah tarif untuk penggunaan listrik di Indonesia.TDL ditentukan berdasarkan perhitungan revenue requirement (allowable cost+Rol). Alokasi pembebanan biaya kepada golongan pelanggan mencerminkan prinsip keadilan. Kenaikan TDL rata-rata yang diharapkan untuk mencapai harga listrik sesuai nilai keekonomiannya secara bertahap. Efisiensi perlu dipertimbangkan sebagai faktor pengurang biaya dalam penetapan TDL.

Pemerintah berencana menetapkan harga energi, baik bahan bakar minyak maupun listrik, sesuai harga keekonomian pada 2014. Hal ini akan dilakukan dengan mengubah pola subsidi pada harga menjadi subsidi langsung bagi golongan tak mampu. subsidi listrik yang sudah dialokasikan cukup besar tersebut ternyata agak mengusik rasa keadilan masyarakat. Sebab, kebijakan TDL yang ditetapkan sejak akhir tahun 2003 lalu membuat semua kelompok pelanggan listrik, baik dari kalangan mampu maupun tidak mampu, dapat menikmati subsidi listrik. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan mengamanatkan agar pemerintah hanya memberi dana (subsidi listrik) terhadap masyarakat tidak mampu.

Dinamika Tarif Dasar Listrik Indonesia

TDL 2003

Dasar hukum penetapan TDL 2003 adalah  Undang-Undang No.20 Tahun 2002, Peraturan Pemerintah No.10/1989, pasal 32 tentang harga jual tenaga listrik ditetapkan Presiden atas usul Menteri (usul harga jual memperhatikan kepentingan rakyat dan kemampuan masyarakat, kemudahan industri dan niaga yang sehat, biaya produksi, efisiensi pengusahaan, kelangkaan sumber energi, skala pengusahaan dan sistem interkoneksi, dan tersedianya sumber dana untuk investasi), dan Peraturan Pemerintah No.25/2000, pasal 8 tentang kebijakan harga energi dan penetapan TDL merupakan kewenangan pemerintah (pusat).

Tujuan penetapan TDL 2003 adalah untuk memperkecil subsidi listrik dengan menata kembali struktur subsidi, mempertahankan kelangsungan pasokan listrik PLN (to keep the light on), dan mendorong harga jual tenaga listrik secara bertahap menuju nilai keekonomiannya. Kebijakan yang terkait dengan penetapan TDL 2003 adalah diberlakukan secara berkala/bertahap setiap triwulan, tetap diberlakukannya tarif waktu beban puncak (WBP) dan tarif di luar waktu beban puncak  (LWBP) dengan penetapan faktor K, pemberian subsidi bagi pelanggan terarah dengan daya tersambung 450 VA, tetap diberlakukannya tarif progresif (sistem blok) untuk menahan pemakain konsumtif, dan tetap memperhatikan sambungan baru pelanggan golongan R1 dengan daya 450 VA dengan pengaturan kuota. Kenaikan TDL 2003 dilakukan melalui empat tahapan,  dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut: tahap-1 berlaku mulai 1 Januari sampai 31 Maret 2003, tahap-II berlaku mulai 1 April sampai 30 Juni 2003, tahap-III berlaku 1 Juli sampai 30 September 2003, dan tahap-IV berlaku dari 1 Oktober sampai 31 Desember 2003. Setiap tahap memberikan kenaikan harga jual rata-rata dalam Rp/kWh sebesar ± 6%. Secara keseluruhan, TDL 2003 akan meningkatkan penerimaan PLN sebesar 7,5 trilyun rupiah, atau naik 16% dibandingkan pendapatan tanpa perubahan tarif. Prosentasi ini, menunjukkan konsistensi  Pemerintah terhadap sinyal yang sudah disampaikan dalam Nota Keuangan mengenai RAPBN  2003 maupun kesepakatan dengan DPR dalam rapat dengar pendapat mengenai tarif listrik. TDL  2003 merupakan bagian dari upaya membawa TDL mencapai nilai ke ekonomiannya.

TDL 2004

Tarif Dasar Listrik 2004 ditetapkan dengan dasar Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 104 Tahun 2003 tanggal 31 Desember 2003. Konsumen dikelompokkan dalam tiga kelompok besar R (rumah tangga), B (bisnis), dan P (Pemerintah). Untuk tiap kelompok akan ditentukan rata-rata penggunaan listriknya secara nasional. Sistem insentif dan dis-insentif dikenakan sesuai total pemakaian bulanan.

TDL 2010

Pemerintah dan DPR menyepakati rincian kenaikan tarif dasar listrik (tdl) yang berlaku 1 Juli 2010. Itu didapat dalam rapat kerja Komisi VII DPR bersama Menteri Energi Sumber Daya Manusia Darwin Saleh dan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara Dahlan Iskan di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (15/6). Kesepakatan terdiri dari dua opsi. Pertama, pelanggan 450 dan 900 Volt Ampere tidak naik. Sementara golongan lain naik antara 6 hingga 18 persen. Di opsi kedua, pelanggan 450 dan 900 VA naik 5 persen sehingga persentasi kenaikan golongan lain lebih kecil. Opsi pertama lah yang akhirnya dipilih. Opsi pertama sejalan dengan suara sebagian besar anggota Komisi VII dan didukung fraksi besar seperti Demokrat dan Golkar. Namun, Partai Demokrasi Indonesia Pejuangan dan Partai Keadilan Sejahtera tetap tidak menyetujui kenaikan tersebut.  Dengan kenaikan 18 persen, tagihan pelanggan golongan 1.300 VA diperkirakan bertambah RP24 ribu per bulan. Lalu Rp43 ribu untuk pelanggan 2.200 VA dan untuk pelanggan 3.500 hingga 5.500 VA bertambah Rp87 ribu.  Selain menyetujui rincian tersebut, rapat juga menyederhanakan tarif bagi golongan industri sehingga tidak ada lagi tarif di luar TDL. Raker juga menginstruksikan pemerintah membuat sambungan listrik baru untuk 1,5 juta pelanggan tiap tahun.

Pemerintah tengah menyiapkan rencana pengenaan tarif multiguna kepada semua golongan pelanggan sejalan dengan penaikan TDL rata-rata mulai 1 Juli 2010. Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko PT.Perusahaan Listrik Negara (Persero) Murtaqi Syamsuddin mengungkapkan rencana itu sedang dipersiapkan oleh pemerintah sejalan dengan penghapusan kebijakan pengenaan tarif multiguna hanya dikhususkan untuk industri. Pemerintah akan mengenakan tarif multiguna kepada semua pelanggan yang menggunakan listrik dalam daya besar untuk waktu tertentu atau secara temporer. Tarif multiguna itu diterapkan hanya untuk sambungan-sambungan yang sifatnya sementara dan untuk daya berapapun, seperti pesta, pameran, atau acara konser. Kebijakan tarif listrik baru masih menunggu pembobotan per golongan pelanggan yang akan dituangkan dalam bentuk peraturan presiden (perpres). Penerapan tarif multiguna yang baru akan diatur oleh pemerintah dalam bentuk perpres dan aturan pelaksana lainnya. Ilustrasi kenaikan tarif yang disimpulkan dalam rapat kerja Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan komisi VII DPR dapat dilihat pada gambar berikut:

Golongan

Tarif Lama

Tarif Baru

Estimasi tambahan rekening/bulan

300 VA

672 (Rp/kWh)

793 (Rp/kWh)

24.000

(Rp/bulan)

200 VA

675 (Rp/kWh)

797 (Rp/kWh)

43.000

(Rp/bulan)

500 s/d 5.500 VA

755 (Rp/kWh)

891 (Rp/kWh)

87.000

(Rp/bulan)

 

Prosentase kenaikan tarif dapat dilihat pada tabel berikut:

Pelanggan
450 VA – 900 VA
6600 VA ke atas (R, B, P)

Dengan batas hemat 30%

Sosial
Rumah Tangga lainnya
Bisnis
Industri lainnya
Pemerintah lainnya
Traksi (untuk KRL)
Curah (untuk apartemen)
Multiguna

(untuk pesta, layanan khusus)

Keterangan: *)tarif listrik sudah capai keekonomian

R: Rumah Tangga, B: Bisnis, P: Pemerintah

 

Dampak Kenaikan TDL 2010

Pemerintah diminta memperjelas formula kenaikan tarif dasar listrik untuk mengukur seberapa besar dampak kenaikan tersebut terhadap dunia usaha. “Sebesar apapun persentasi kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) pasti berpengaruh signifikan terhadap operasional perusahaan,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Haryadi B Sukamdani. Ia berpendapat, kenaikan TDL akan mengakibatkan biaya produksi seluruh industri melonjak hingga 5 persen dari sebelum kenaikan TDL. “Pada industri perhotelan komponen listrik bisa mencapai 20 persen dari total biaya produksi. Ini akan menekan pendapatan,” ujarnya. Beliau bukan tidak setuju dengan kenaikan TDL namun jika kenaikan terlalu besar, beliau akan komplain. Kenaikan listrik yang terlalu besar akan membuat indutri semakin tertekan dan terpuruk.

Tribun Bank Indonesia memprediksi, kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan memicu inflasi berada pada kisaran lima persen. ,Menurut Deputi Gubernur BI, Ardhayadi Mitroatmodjo, inflasi sekitar lima persen masih tidak akan berpengaruh besar terhadap perekonomian nasional, sehingga tidak terlalu mengkhawatirkan. Ardhayadi mengatakan, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, salah satu masalah mendasar yang perlu dicermati adalah menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil.

Kalangan industri diminta agar tidak menaikkan harga barang seiring dengan kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Kalangan industri harusnya melihat bahwa biaya listrik yang dibayarkannya menjadi lebih rendah karena adanya penghapusan tarif multiguna dan tarif daya maksimum. “Beban yang kita bayar malah menjadi lebih rendah. Jadi, kenaikan TDL tidak boleh dijadikan alasan untuk menaikkan harga,” kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Investasi dan Perhubungan Chris Kanter.

Menteri Perhubungan Freddy Numberi mengakui, PT Kereta Api (Persero) telah mengajukan kenaikan tarif kereta rel listrik (KRL). Hal itu terkait dengan keputusan pemerintah dan DPR tentang kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang akan diberlakukan mulai 1 Juli mendatang. ”Sekarang sedang dalam proses evaluasi. Dalam pembahasan kita sesuaikan dengan syarat syarat tertentu. Kenaikan tarif kita lihat perkembangan di lapangan,” ujarnya

Kenaikan TDL per 1 Juli diperkirakan bakal berpengaruh negatif terhadap daya saing UMKM, karena listrik merupakan salah satu komponen biaya produksi. ”Kenaikan TDL pasti akan dibuntuti kenaikan biaya produksi dan ujungnya harga jual hasil produksi juga akan ikut terseret naik,” kata Kepala Dinas Perinkop dan UMKM Kabupaten Magelang, Drs H Edy Susanto.

Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) memprediksi akan ada penurunan omzet 7% menyusul berkurangnya belanja akibat kenaikan tarif dasar listrik (TDL) rata-rata 10% mulai 1 Juli 2010. Sekjen APPSI Ngadiran menyayangkan pemerintah tidak memasukkan pelanggan berdaya 1.300 volt ampere (VA) dalam kelompok yang tidak dikenakan tarif baru, melainkan hanya 450 VA-900 VA. “Jika kenaikan TDL akan menyebabkan peningkatan harga sekitar 10%, kemungkinan akan menekan omzet pedagang di pasar lebih dari 7%,” kata Ngadiran hari ini. Dia mengatakan biasanya jika terjadi peningkatan harga, langsung akan berdampak pada pengurangan nilai penjualan yang diraih pedagang di pasar tradisional. Mengingat, transaksi belanja konsumen berkurang, karena mereka menyesuaikan barang yang dibeli dengan kesediaan uang untuk berbelanja. Sementara anggaran belanja kemungkinan akan berkurang, sebab sebagian alokasi diperuntukkan untuk membayar tagihan listrik yang bakal membengkak. Terkait dengan kenaikan harga TDL, ujarnya, pedagang pasar berharap pemerintah mau meninjaunya kembali dan tidak ikut menaikkan TDL bagi pengguna daya 1.300 VA. Alasannya, pedagang kecil di pasar tradisional sebagian besar menggunakan listrik dengan kapasitas tersebut.

Kenaikan tarif dasar listrik (TDL) per 1 Juli sekitar 10% berpotenasi besar mengerek harga barang terutama sembilan bahan pokok (sembako). Menurut prediksi Badan Pusat Statistik (BPS) secara umum inflasi akan terpengaruh sebesar 0,3% di Juli. “Jika pengaruh langsung dan tidak langsungnya digabungkan, maka akan mempengaruhi inflasi sebesar 0,3%,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan. Kenaikan TDL untuk 900-6600 VA sebesar 18% dipastikan mempengaruhi pengeluaran pengeluaran konsumen rumah tangga.Dengan adanya kenaikan tersebut, Rusman memperkirakan, terdapat sumbangan inflasi di bulan Juli sebesar 0,22%. “Dampak langsung ke inflasi dengan bobot konsumen antara 900-6600 VA kira- kira bisa menambah 0,22% di bulan Juli,” ujarnya.Sementara itu, kenaikan pada sektor industri, hanya akan berpengaruh sebesar 0,08% pada inflasi.

 

Rujukan :

  1. PLN, “Bagaimana pengaruh TDL 2003 terhadap kinerja finansial PLN?”, dalam http://www.plnjaya.co.id/tdl/tdl_pengaruh.html, diakses 23 Juni 2010
  2. Tarif Dasar Listrik, http://id.wikipedia.org/wiki/Tarif_dasar_listrik, diakses tanggal 23 juni 2010
  3. http://www.pln-jabar.co.id/phe.htm  23 juni 2010
  4. Glo, “Pengusaha Minta Penjelasan Soal TDL”, dalam http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/06/23/14204475/Pengusaha.Minta.Penjelasan.Soal.TDL, diakses 24 Juni 2010
  5. “Energi: Harga Keekonomian diterapkan 2014”, dalam http://www.pelangi.or.id/othernews.php?nid=6129, diakses 24 Juni 2010
  6. Muh. Izzat Nuhung, “Kenaikan TDL picu inflasi naik jadi 5 persen”, dalam  http://www.tribun-timur.com/read/artikel/113179/Kenaikan-TDL-Picu-Inflasi-Jadi-5-Persen, diakses 24 Juni 2010
  7. Marchelo, “Kadin Minta Industri Tidak Naikkan Harga”, dalam http://www.mediaindonesia.com/read/2010/06/22/150770/4/2/Kadin-Minta-Industri-tidak-Naikkan-Harga-Barang, diakses 24 Juni 2010
  8. Nurbaiti, “Tarif Multiguna akan Berlaku Umum”, Bisnis Indonesia 22 Juni 2010
  9. “Terkait Kenaikan TDL, Tarif KRL pun Naik”, dalam http://www.pikiran-rakyat.com/node/116353 diakses tanggal 25 Juni 2010
  10. Praptono Djunedi, “Kenaikan TDL dan Subsidi Tepat Sasaran”, dalam http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=255559 diakses 18 Juni 2010
  11. “Pengusaha besar dan kecil resah atas Rencana Kenaikan TDL”, dalam http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=39557&Itemid=48 diakses 18 Juni 2010
  12. Linda T.Silitonga, “Kenaikan TDL gerus omzet pedagang minimal 7%”, dalam http://web.bisnis.com/sektor-riil/ritel-ukm/1id189459.html, diakses 25 Juni 2010